Senin, 22 Juli 2013


      MUSEUM BUDAYA ULLEN SENTALU, YOGYAKARTA


Museum Ullen Sentalu adalah singkatan dari 
“Ulating Blencong Sejatine Tataning Lumaku” yang artinya pelita kehidupan sejati bagi jalan hidup manusia ini dibangun dilahan yang sejuk dan indah diantara rimbunnya pepohonan di Kaliurang yang disebut Taman Kaswargan (Taman Surga),diresmikan pada tahun 1997. 
 Sebelum memasuki museum, ada beberapa peraturan bagi para pengunjung yaitu tidak boleh mengambil gambar, tidak boleh makan dan minum, karena dikhawatirkan merusak benda-benda yang berada di dalam museum, bahkan pewangi yang digunakan adalah pewangi alami yang berisikan bunga-bunga yang di letakkan pada sebuah cawan yang terbuat dari tanah liat. Sebagian besar benda-benda yang terdapat di dalam museum mempunyai hubungan dengan kerajaan Mataram dan keraton-keraton di Jogjakarta dan Solo. Barang-barang yang dipamerkan dalam museum ini merupakan kontribusi dari puteri-puteri Keraton Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran dan Pakualaman. Beberapa lukisan merupakan hasil karya pelukis dari ISI Yogyakarta yang melukisnya dari foto asli, namun ada pula yang merupakan kontribusi langsung Keraton.
Museum Ullen Sentalu memiliki total 7 ruangan  termasuk pintu masuk (Entrance), Guwo Selo Giri dan 5 ruangan yang terdapat dalam Kampung Kambang. Setelah melewati pintu masuk dan melewati jalan setapak yang rindang, selanjutnya masuk  ke Guwo Selo Giri yang artinya Gua berdinding batu gunung (yang diambil dari Gn. Merapi). Dalam ruangan bawah tanah yang berbentuk lorong ini anda bisa melihat beberapa foto kota Yogyakarta tempo dulu dan beberapa foto penari-penari kraton yang sedang beraksi.
Selain itu ada pula wanita keraton yang pada jaman itu sudah mahir mendesain pakaian dan aksesoris yaitu Retno Puwoso, istri dari Paku Alam VII yang merupakan putri dari Paku Buwono X. Dalam salah satu lukisan digambarkan Retno Puwoso mengenakan baju kebaya dan kipas bulu yang dikalungkan dileher sampai menjuntai sampai ke mata kaki dimana bentuk kipas yang ‘tidak lazim’ itu di-desain sendiri olehnya. Lukisan lain menunjukkan potret diri Retno Puwoso beserta suaminya yang pada saat itu sudah memakai ‘dasi’ yang dikenakan dengan baju kebesarannya. Lagi-lagi dasi tersebut merupakan desainnya sendiri.
Dari ruangan ini pula kita akan diajak untuk memperhatikan bahwa tidak ada satu wanita keraton-pun yang ada dalam lukisan mengenakan cincin dijari tengah. Hal ini terkait dengan filosofi lima jari manusia dan peruntukannya sehingga jari tengah tidak diperkenankan dilekati apapun.
Di ruangan ini kita melihat foto diri Pakubuwono X beserta permaisuri yang merupakan putri dari Sultan Yogyakarta. Sesungguhnya PB X sudah memiliki permaisuri dan puluhan selir namun karena tidak memiliki anak dari permaisuri-nya maka beliau mengambil permaisuri lagi ditahun 1915. Dijaman pemerintahan PB X kota Solo diceritakan mencapai puncak kejayaan, hal ini ditandai dengan dibangunnya banyak pesanggrahan (Tegalgondo, Pengging, Banyubiru dan Ampel) atau Pasar Gede Harjonagoro.
Setelah dari Guwo Selo Giri kita akan dibawa ke Kampung Kambang yang terdiri dari beberapa ruangan yang dibangun diatas kolam besar, perpindahan dari satu ruangan ke ruangan lain memberi kesan kita sedang berjalan diatas permukaan air.
Ruang pertama dari Kampung Kambang adalah Balai Sekar Kedaton, Koes Sapariyam yang lebih akrab disapa Tineke. Dahulu Tineke sempat memiliki kisah cinta yang tidak direstui dan ruangan ini menjadi saksi bisu betapa kawan-kawan Tineke selalu memberikan dukungan kepadanya melalui surat-surat yang pernah dikirimkan dalam kurun waktu 1939-1947. Seluruh surat itu masih dalam kondisi yang baik sehingga anda tidak akan menemui kesulitan untuk membacanya selain sudah ada salinan dan terjemahan ke beberapa bahasa. Umumnya semua surat dilampiri dengan foto sipengirim dan isi surat cenderung ke bentuk puisi.
Ruang berikutnya dari Kampung Kambang adalah Ruang Paes Ageng Yogyakarta yang berisi mengenai lukisan-lukisan yang menggambarkan pengantin dari Kasultanan Ngayogyakarta lengkap dengan aksesori pendukung yang menunjukkan kemegahan dari prosesi pernikahan itu sendiri. Selain menikmati beberapa lukisan, pemandu akan menerangkan kepada anda filosofi dari aksesori yang dikenakan oleh pengantin wanita, dari mulai hiasan kepala sampai kepada aksesori lainnya. Lagi-lagi semuanya sarat dengan filosofi Jawa, seperti jumlah bunga hiasan dikepala yang berjumlah 5 sesuai dengan Rukun Islam, bunga melati yang digantungkan dipinggang sebagai tanda kesuburan dan cepat memiliki keturunan dan lain-lain.
Ruang ketiga di Kampung Kambang ini adalah Ruang Vorstendlanden Batik yang memamerkan koleksi batik dari Kasultanan Yogyakarta (pada masa Sultan HB VII-IX) dan Surakarta (pada masa PB X-XII). Dahulu kain batik tidak diperkenankan untuk dipakai rakyat biasa, tetapi pada masa Sultan HB IX beliau memperbolehkan rakyat biasa ikut mengenakan batik. Pemandu juga akan memberitahukan kepada kita makna filosofis dibalik motif-motif batik yang dikenal sekarang mengingat pada jaman dahulu pembuat batik harus berpuasa dan menunggu wangsit sebelum dapat menemukan motif dan mulai membatik. Beberapa koleksi batik yang dipamerkan misalnya batik motif Grinsing Mino yang konon bisa digunakan untuk menolak ilmu hitam, batik Sido Luhur, Sido Mulyo, Sido Drajad dan Sido Asih yang menunjukkan kesetiaan seorang istri.
Selain itu anda akan diberitahu oleh pemandu untuk tidak mengenakan batik motif Parang untuk acara lamaran, pertunangan atau pernikahan karena Parang adalah jenis batik yang umumnya digunakan untuk peperangan, sehingga mengenakannya diacara pernikahan konon akan membuat pernikahan dipenuhi dengan pertengkaran dan permusuhan.
Ada lagi batik motif Truntum yang tidak boleh dikenakan untuk menutup tubuh jenazah karena konon apalagi batik motif Truntum tetap dikenakan maka jenazah akan terus menghantui.
Ruang keempat adalah Ruang Batik Pesisiran, yaitu koleksi batik yang berasal dari daerah pantai Utara Jawa. Batik-batik diruangan ini umumnya sangat indah dan berwarna lebih cerah walaupun pada saat itu tidak terlalu diminati karena dianggap tidak ada nilai filosofi-nya. Diruangan ini pula kita bisa melihat kebaya bordir jaman dahulu yang proses pembuatannya memakan waktu berbulan-bulan karena mesin bordir-nya sangat kecil dan kuno. Walaupun hasilnya cukup indah tetapi kebaya bordir tidak terlalu diminati pada jaman dahulu karena dianggap tidak sarat dengan nilai filosofi. Kebaya jenis ini umumnya dipergunakan oleh etnis campuran pada masa Sultan HB VII (sekitar tahun 1870-an). Motif batik kasultanan surakarta dan jogja mempunyai ciri tersendiri, misalnya dari segi warna. Surakarta lebih condong ke arah coklat yang melambangkan kelamahlembutan, sedangkan batik jogja sebagian berwarna putih yang berati kesucian, dasn keteguhan.

Ruang kelima atau ruang terakhir di Kampung Kambang adalah Ruang Putri Dambaan, yaitu ruangan yang didedikasikan untuk mengenai GRAy Nurul Kamaril Ngarasati Kusumawardhani Surjosoejarso atau lebih dikenal sebagai Gusti Nurul. Beliau adalah putri dari HRH Mangkunegoro VIII dan GKR Timur Mursudariyah. Yang membuatnya sangat istimewa karena Gusti Nurul ini berparas cantik, memiliki hobi berkuda, mahir menari, bermain tenis dan berenang. Putri yang pernah dipinang oleh Presiden Soekarno dan Sultan HB IX ini menolak poligami dan akhirnya memilih untuk menikah dengan seorang tentara ketika usianya menginjak angka 30 tahun. Ruangan ini berisi koleksi foto-foto Gusti Nurul dari ketika beliau masih bayi hingga dewasa. Ada satu foto menggambarkan Gusti Nurul sedang menari di pernikahan Putri Juliana yang dilakukan secara ‘teleconference’, yaitu musik gamelan dimainkan di Solo sedangkan Gusti Nurul mendengarkan alunan gamelan melalui telepon dan menari dihadapan tamu undangan pernikahan. Karena sambungan telepon pada masa itu masih belum sebaik sekarang maka sang Ibu masih memberikan aba-aba secara langsung berupa ketukan-ketukan. Ruangan ini diresmikan sendiri oleh Gusti Nurul pada hari ulang tahunnya yang ke 81.

Setelah dari Ruang Putri Dambaan anda akan disuguhi Kusmayana Drink ramuan tradisional salah satu puteri keraton yang dipercaya dapat membuat anda awet muda. Ramuan ini terbuat dari campuran jahe, kayu manis, gula jawa, garam dan daun pandan.

Dari Ruang Putri Dambaan, tour anda di museum Ullen Sentalu belum sepenuhnya berakhir, karena anda masih bisa berkeliling menikmati taman yang asri dan artistik. Ada baiknya anda membaca rambu-rambu yang disediakan agar anda tidak tersesat.
Ada lagi Galeri Djagad Akademik dimana secara berkala diadakan pameran-pameran lukisan yang dikoordinasi oleh “Ulating Blencong” Foundation.
Kalau anda berkeliling disekitar taman maka anda akan menemui Beukenhof Restaurant yang didesain dengan arsitek jaman kolonial. Sebagai pelengkap museum disediakan pula toko souvenir atau Artshop (Bale Nitik Rengganis) yang menjual batik dan kerajinan lainnya.

Museum Ullen Sentalu seperti mesin waktu yang membawa kita ke masa lampau untuk disegarkan kembali tentang sejarah kejayaan Keraton-keraton di Yogyakarta dan Solo. Selain itu karena sarat dengan nilai filosofis pengunjung seperti diajak untuk belajar mengenai filsafat praktis kebudayaan Jawa yang disajikan dengan sangat menarik oleh pemandu.





Senin, 01 Juli 2013

cerita sedekah laut desa bendar juwana pati



Sedekah Laut Desa Bendar Juwana Pati

Pada bulan syawal tepatnya seminggu setelah Idul fitri pasti akan di adakan acara sedekah Laut, yang biasanya akan diselenggarakan pada hari minggu kecuali minggu wage. Budaya ini adalah sebuah kebiasaan, traktat dan adat peninggalan jaman Hindu Budha, contoh sajen (sesaji). Saat sedekah laut warga pun membuatkan sajen untuk di larungkan ke laut.
Tahun  -1990  setiap warga yang mempunyai alat tangkap pasti membuang sajennya  masing- masing, yang berisi telur dan kembang telon yang lengkap dengan maejan. Akan tetapi acara tersebut sekarang di formalkan dengan mengadakan larung sesaji, dimana semua sajen warga akan di wakilkan menjadi satu Larung sesaji di wujudkan oleh pemerintah desa yang dikemas dalam bentuk jodang sesaji  berisi ndas kebo atau ndas wedhus (kepala kerbau atau kepala sapi) beserta 4 kakinya, kembang telon lengkap dengan maejan, serta degan yang dikrowoki (dilubangi) sedangkan dalamnya diisi dengan gula jawa.  Ada dua Jodang yang di buat, jodang pertama untuk di larungkann kelaut dan yang kedua di kirab bersama hiburan-hiburan misalnya drum band. Tanggapan (tontonan atau hiburan) yang wajib saat sedekah laut ada tiga yaitu Barongan, Ketoprak, dan lomban. Sajen yang kedua setelah di kirab, akan di jadikan batas akhir dari lomban, maksudnya adu balap perahu untuk memperebutkan entok, siapa yang paling banyak mendapatkannya maka itu pemenangnya. Bahkan kata orang lomban itu di saksikan langsung oleh Nyi Roro Kidul.
Lomban di laksanakan di sungai juwana yang di kenal sebagai Bengawan Silugonggo. Masyarakat menyebut seperti itu karena sungai Silugonggo tidak pernah kering, sebenarnya Bengawan itu memiliki larangan, yaitu tidak boleh dikilani (di ukur) dan disombongkan karena itu akan menimbulkan peristiwa yang tidak diinginkan. Contoh dulu pernah diselenggarakan lomba menyebrangi bengawan silugonggo dengan tali yang diikat dari etan sampai kulon kali (timur sampai barat sungai) dan akhirnya tali tersangkut di tiang sehingga banyak korban yang berjatuhan itu dikarenakan sudah berani ngilani bengawan tersebut. Peristiwa itu tepat pada hari minggu wage, itu alasan kenapa sedekah laut tidak boleh dilakukan pada minggu wage.
Karena tidak ada tokoh atau patokan yang jelas maka acara itu selalu berkembang, seperti halnya kirab sesaji yang terus berkembang dengan menyertakan drum band sedangkan orang yang mengikuti prosesi mengenakan pakaian adat pati.
Antusias warga sangatlah besar bahkan bukan hanya warga Desa Bendar saja, banyak warga dari desa lain berbondong-bondong ikut merayakan dan menikmati acara yang berada di Bendar. Saat terlontar pertanyaan “ jika Sedekah Laut tidak ada bagaimana pendapat kalian...?”, maka banyak warga ya ng menjawab acara itu harus ada karena itu sudah di adakan sejak zaman dahulu. Berarti dapat di simpulkan bahwa masyarakat Desa Bendar Juwana Pati mempunyai ketakutan tersendiri jika Sedekah Laut di hapus dari desa mereka.